Penelitian merupakan salah satu unsur dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi selain pendidikan dan pengabdian masyarakat. Kegiatan penelitian yang dihasilkan oleh Penelitian Tinggi (PT) terbagi menjadi dua, yaitu penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa dan staf pengajar. Penelitian yang dilakukan oleh staf pengajar melibatkan dosen secara langsung. Kegiatan ini dapat dilakukan oleh staf pengajar (dosen) sendiri, staf pendukung dan dimungkinkan juga dengan melibatkan mahasiswa. Jika tidak, maka gelontoran dana besar tanpa didukung kultur peneliti untuk selalu maju pun tidak akan dapat berjalan dengan maksimal. Oleh karenanya dibutuhkan hubungan sinergi dalam internal antara peneliti, lembaga penelitian, dan dalam aspek ini dibutuhkan pula peran mahasiswa.
Keterlibatan Mahasiswa
Idealnya, seorang dosen memang harus melibatkan mahasiswa dalam kegiatan penelitian. Menurut Drs. Andang Subaharianto, M. Hum., Pembantu Rektor III (PR III) Universitas Jember (UJ), dalam beberapa tahun terakhir ini cara seperti itu sudah mulai dicoba oleh Lembaga Penelitian (Lemlit). Jadi apabila ada beberapa dosen yang mendapatkan hibah riset, maka Lemlit meminta para dosen supaya mengajak mahasiswa dalam penelitian nantinya. “Jadi lembaga penelitian sudah meminta dosen-dosen yang meraih hibah penelitian ini untuk melibatkan mahasiswa, sekurang-kurangnya dua. Tapi saya kira memang idealnya seperti itu, jadi seorang dosen mendapatkan hibah riset, sebaiknya memang yang banyak bekerja ini adalah mahasiswa-mahasiswa dari dosen itu. Dari sini nanti dosen itu bisa transfer ilmunya, kalau di lapangan itu harus bagaimana dan seterusnya, tetap yang bertanggung jawab atas riset ya dosen itu,” ia melanjutkan.
Andang menambahkan, walaupun metode seperti ini sekarang belum menjadi satu gejala umum dan sangat minim, tetapi dengan dorongan yang dilakukan oleh pihak Lemlit dan universitas, dirinya yakin model ini akan terbiasa diaplikasikan. Akhirnya para dosen peneliti akan menggunakan mahasiswa untuk membantu menyelesaikan risetnya. Maka sejak tahun 2009 lemlit mulai menetapkan sistem seperti itu agar dapat mendukung iklim penelitian yang diharapkan.
Lebih jauh Andang menjelaskan, jika dulu hanya imbauan, saat ini lebih bersifat spserti tanggung jawab yang diminta oleh Lemlit terhadap dosen. Maksudnya seperti ada pemantauan dari pihak Lemlit kepada para dosen untuk menanyakan kejelasan peran mahasiswa dalam proses penelitian. Kemudian target sampai tahap apa keterlibatan mahasiswa dalam penelitian juga akan menjadi pertanyaan selanjutnya. Misalnya, tujuuan mahasiswa dilibatkan dalam penelitian supaya mereka juga bisa mendapatkan inspirasi untuk menuliskan skripsinya. Pada saat presentasi akhir, masing-masing peneliti sudah harus dapat menunjukkan dengan jelas siapa saja mahasiswa yang diajaknya dalam penelitian.
Jika kultur penelitian bisa berjalan se-ideal itu, tentu saja banyak manfaat yang bisa diambil oleh dosen dan mahasiswa. Dosen yang tidak hanya dituntut untuk mengajar, namun juga pengabdian kepada masyarakat melalui penelitian. Pada kesempatan inilah mahasiswa bisa masuk sebagai asisten dosen dalam penelitian. Biasanya mahasiswa tidak dilibatkan langsung dalam proses penyusunan karya tulis penelitian si dosen, melainkan sebagai pelaksana teknis yang lebih banyak membantu dosen dalam proses riset di lapangan. Sehingga melalui cara ini dosen bisa mentransfer ilmunya kepada mahasiswa, dan harapan ke depan mahasiswa bisa lebih mempercepat masa studinya. Akhirnya keterlibatan mahasiswa menjadi sinyal positif di mana mereka dapat menambah ilmu dan pengalaman, dan tentu mempermudah penelitian dosen tersebut.
Namun untuk mencapai tahap ideal itupun membutuhkan dana yang tidak sedikit dimana faktor eksternal menentukan di sini. Anggaran dari luar memegang peranan penting karena universitas tidak mungkin membiayai biaya penelitian sendiri mengingat dana penelitian yang cukup besar. Penghasilan perguruan tinggi menentukan keterlibatan mahasiswa dalam penelitian, karena dari penghasilan tersebut pengeluaran untuk mahasiswa bisa terealisasi.
“Ada faktor eksternal, ada anggaran dari luar, kita (universitas.red) nggak mungkin mendanai penelitian sendiri itu, nggak ada satu perguruan dimanapun. Yang menentukan itu pertama sebagai revenue (penghasilan) dari perguruan tinggi, diharapkan kalau bisa itu mahasiswa nggak usah bayar jadi semua biaya ini dari hasil riset, idealnya begitu. Tetapi nggak mungkin semua terpenuhi, terlalu idealis, jadi paling nggak dana pembinaan mahasiswa itu bisa didapat dari dana riset dari luar. Mereka dilibatkan, kalau perlu dibayar di situ sebagai tenaga peneliti juga sambil menyelesaikan skripsi dan tesisnya, kemudian menulis bareng-bareng di jurnal seminar bersama-sama,” tandas Dr. Ir. Cahyoadi Bowo, yang saat ini masih menjabat sebagai ketua Lemlit Universitas Jember.
Menurutnya, karakteristik mahasiswa yang melakukan penelitianpun bermacam-macam. Ada penelitian mahasiswa untuk skripsi, maka sepenuhnya mahasiswa yang akan lulus dari Universitas Jember (UJ) akan memakai penelitian. Artinya, seluruh mahasiswa harus melakukan penelitian. Kemudian ada beberapa mahasiswa, “Termasuk mahasiswa saya juga,” kata Cahyoadi, yang memang memerlukan dana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di sini. Mereka melakukan penelitian, berbagai hal dilakukannya baik di dalam maupun di lapangan. Setidaknya mereka dapat pemasukan setiap bulan dari pengeluaran untuk penelitian itu. Selanjutnya ada pula peneliti mahasiswa yang memang ikut penelitian berdasarkan keinginan belajar saja. Dalam hal ini mereka tetap mendapat uang transportasi, uang makan, dan sebagainya. Karakteristik yang lain yaitu mahasiswa penelitian dikarenakan mau mengikuti lomba karya ilmiah baik bersama dosen atau mandiri dengan bimbingan dosen.
Selanjutnya Cahyoadi menambahkan bahwa Lemlit tidak berhubungan langsung dengan mahasiswa karena wewenang penelitian mahasiswa adalah ranah fakultas. Tetapi jika ada kelompok-kelompok peneliti mahasiswa dari fakultas manapun meminta bantuan Lemlit, misalnya pelatihan, minta data, dan sebagainya, maka lemlit akan membantu. “Misal, memerlukan gedung ini buat penelitian sangat boleh, tanpa ditarik biaya. Karena itu bagian dari pelayanan lembaga penelitian, termasuk untuk para mahasiswa. Tapi kalau mengajukan proposal dan sebagainya bukan di sini tapi di fakultas. Yang kita lakukan adalah pendampingan,” imbuhnya.
Keberadaan peneliti muda
Kompas edisi (Sabtu, 8 Oktober 2011) lalu pernah mengulas sebuah tulisan dengan judul “Menghidupkan Budaya Penelitian”. Pada lead tulisan itu terpampang jelas kalimat “mengabaikan potensi peneliti muda ibarat membiarkan punai di tangan lepas. Itu menambah tumpukan kelalaian bangun masa depan”. Dilengkapi pembahasan yang garis besarnya menggambarkan hilangnya peneliti muda di tengah rendahnya apresiasi pemerintah pada mereka. Tulisan ini benar-benar merepresentasikan ketidakprofesionalan pemerintah dalam menjaga keberadaan peneliti muda.
Dampaknya pada kondisi real, penelitian yang dilakukan oleh para akademisi dan peneliti mudapun jarang berlanjut sehingga tidak dapat diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Kerap kali hasil penelitian hanya merupakan muara akhir dari sebuah pemikiran. Yang lebih ironis bahkan hanya menjadi koleksi perpustakaan. Kalaupun mendapat apresiasi, wujud penghargaan yang didapat biasanya hanya sebatas materi, seperti sertifikat, trofi, dan sejumlah uang yang tidak mencukupi untuk pengembangan penelitian selanjutnya. Keadaan ini tentu melemahkan minat dan konsistensi pengadaan penelitian. Lalu bagaimana dengan keberadaan peneliti muda di UJ?
Cahyoadi mengatakan bahwa pada saat lomba karya ilmiah mahasiswa di Makasar lalu, UJ memperoleh medali emas yang disumbangkan oleh mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM). Sebelum berangkat, saat itu para mahasiswa dilatih untuk presentasi, serta mengoreksi lagi isi tulisan yang akan dipresentasikan dan sebagainya. Sampai dosen pun disangkut-pautkan dalam hal ini untuk mengoreksi proposal yang telah dibuat mahasiswa. Artinya, potensi UJ saat ini sudah tidak terlalu jauh tertinggal dari universitas-universitas unggulan lainnya. Sejak tahun kemarin, UJ memang sudah mulai lebih intensif memberikan pelatihan-pelatihan.
Sedangkan menurut Mochammad Sholehuddin, Mahasiswa FKM, angkatan 2010 yang memenangkan Lomba Karya Tulis Bidang Kemaritiman PIMNAS Makassar tersebut. Peran universitas hanyalah sebatas memberi informasi jika ada lomba-lomba karya tulis, sedangkan untuk mendapatkan data-data guna menunjang referensi yang dibutuhkan bisa didapatkan melalui Lemlit. Ketika karya tulis kelompoknya (baca: tiga mahasiswa FKM) dinyatakan lolos, barulah UJ melakukan tindakan konkrit. Bersama rektorat, mereka diberi persiapan melalui bimbingan mengenai cara menyampaikan materi dengan presentasi yang baik dan benar. Sampai dengan menyumbang literatur, serta pendanaan keberangkatan presentasi ke Makasar seluruhnya difasilitasi oleh UJ.
Hasil penelitian mereka yang berjudul “Upaya Peningkatan Kualitas Udara Dengan Penanaman Casuarina Equisetifolia Untuk Kawasan Wisata Pantai Yang Sehat” rencananya akan dilanjutkan. Namun segalanya masih terkendala oleh kegiatan akademis dan hal-hal lain. “Sebenarnya kemarin kalau bicara dengan dosen pembimbing kami, beliau mengusulkan bagaimana kalau melakukan penelitian terkait hal itu. Cuma sampai sejauh ini kita belum menghubungi lagi karena masih UTS dan lain sebagainya, tapi untuk ke depan kita pengen adanya penelitian di sini,” tandasnya.
Ia menambahkan bahwa belum ada tindak lanjut dari universitas untuk menjaga atau memberdayakan keberadaan mereka sebagai peneliti muda sampai sejauh ini. Selain uang pembinaan Rp 2.900.00,00 untuk satu kelompok, selebihnya hanya urusan sertifikat kemudian data-data hard copy, baru sebatas pengarsipan saja. Jika ingin melakukan penelitian bersama (dosen), pasalnya memang belum ada tembusan dari pihak mereka (mahasiswa) sendiri kepada pihak universitas untuk menindaklanjuti karya tulis tersebut. Karena apapun yang dilakukan universitas tergantung pada pengajuan dan bantuan seperti apa yang dikehendaki mahasiswa.
Mahasiswa FKM ini juga mengomentari rendahnya inisiatif mahasiswa untuk terlibat dalam penelitian sehingga membuat UJ tertinggal jauh dengan universitas lainnya. Pada saat Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) yang diikutinya beberapa waktu lalu, ia melihat besarnya antusiasme penelitian-penelitian universitas lain. Berbanding terbalik dengan UJ yang menurutnya hanya ada beberapa saja. “Kalau saya bandingkan satu banding seribu mungkin ada. Kemarin (baca: saat lomba karya tulis) itu yang terbanyak dari UGM dan ITS, memang kalo diperbandingkan dengan proposal yang masuk lebih banyak dari sana,” imbuh Sholehuddin. Semangat dosen-dosen dalam penelitian tidak diimbangi dengan penelitian mahasiswa yang hanya berkutat pada keterlibatan penelitian di saat skirpsi saja. Menurutnya, mahasiswa UJ harus mulai memiliki inisiatif membuat inovasi penelitian yang terbaru.
Menurut Sholehuddin lagi, mahasiswa lebih tertarik jika diajak dosen untuk penelitian. Dosen harus terbuka dan mahasiswa juga harus punya inisiatif untuk membuat sebuah tulisan penelitian kemudian disampaikan ke dosen. Selaras dengan pernyataan tersebut, PR III juga menyatakan bahwa jalannya penelitian itu koordinatif. Dimana tetap ujung tombak patut disematkan kepada para dosen yang ada di program-program studi. Kemudian para dosen harus koordinatif dengan laboratorium, dilanjutkan koordinatifnya dengan lembaga penelitian yang secara institusional memiliki tugas mengkoordinasikan penelitian-penelitian yang ada di UJ. Bagaimanapun juga, Lemlit diisi oleh peneliti-peneliti yang tidak lain adalah staf pengajar di PT itu sendiri. Oleh karenanya, selain memperkaya pembelajaran, riset dosen juga diharapkan mampu mendorong kemajuan bangsa dalam penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ada beberapa catatan yang harus diperhatikan UJ untuk menarik minat mahasiswa dalam bidang penelitian menurut Sholehuddin. Yang pertama, UJ harus siap mendanai penelitian mahasiswa yang memang sudah terlihat potensinya. Mahasiswa yang memang telah diuji oleh (mungkin) dosen-dosen bergelar pofesor, dan dia telah dinyatakan berpotensi. Yang kedua, dukungan dari dosen-dosen. Sebuah penelitian tidak mungkin hanya meninjau dari satu keilmuan saja. Dibutuhkan kerjasama dosen dari tiap-tiap fakultas, serta profesor-profesor dan doktor dalam hal ini. Yang ketiga, perlu dibentuknya Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) penelitian seperti Pelita di tingkat universitas.
Sedang menurut Afrian Danny, selaku ketua UKM Pelita, ketika menyikapi keberadaan ruang yang diberikan UJ kepada peneliti muda untuk mengeksplorasi ilmunya. Ia berujar mungkin pihak universitas perlu memperhatikan statistik penelitian di mahasiswa itu seperti apa. Semisal memang dibutuhkan pelatihan, hal tersebut tidak hanya dilakukan oleh UKM Pelita. Tetapi dari pihak universitaspun mengadakan pelatihan bagi mahasiswa. Karena baginya, pelatihan yang diadakan oleh universitas tentu lebih berbobot dibandingkan penelitian mahasiswa.
Lebih jauh lagi, mahasiswa Kedokteran Umum angkatan 2009 ini berpikir bahwa perlu dibuat sebuah student center yang mampu mengakomodasi seluruh aspirasi mahasiswa. Yang dimaksud Student Center di sini adalah tempat berkumpulnya mahasiswa. Tidak hanya anggota UKM Pelita, tetapi orang luarpun bisa bergabung di sana. Bukan sekedar sekretariat sehingga mahasiswa yang memiliki ide cemerlang bisa langsung berkumpul di tempat tersebut. Sedangkan Lemlit menurut pemahaman mahasiswa adalah lembaga yang lebih dekat dengan dosen.
Cahyoadi pun mengamini hal tersebut, menurutnya Lemlit memang memiliki keberjarakan dengan mahasiswa. Diungkapkannya, “Kita lembaga penelitian ini memang berjarak dengan mahasiswa, kita dekat dengan dosen tapi berjarak dengan mahasiswa. Mahasiswa itu seharusnya dekat dengan dosen, dosen ada di bawah fakultas. Jadi mestinya, semua inisiatif itu ada di dalam fakultas. Kalau memerlukan yang lebih lanjut, kita di Lemlit siap selalu membantu dengan sumber daya yang ada.”[]