![]() |
Image Repro Internet |
Indonesia adalah negara yang amat
luas wilayahnya, dan penduduknya pun tergolong padat. Pembagian kekuasaan di
Indonesia diterapkan dengan sangat baik, bahkan bermunculan lembaga-lembaga
baru dan sistem pembagian kekuasaan yang semakin menunjang terciptanya suatu
keadilan bagi setiap warga negaranya. Salah satunya adalah otonomi daerah, hal
ini diperuntukan kepada tiap daerah agar mempunyai wewenang dalam mengatur dan
menciptakan aturan hukum untuk diterapkan kepada warga yang ada di daerah
tersebut.
Salah satunya adalah kabupaten jember
yang mempunyai hak otonom atas daerahnya. Jember juga mempunyai wewenang
membuat suatu peraturan daerah (perda) untuk diterapkan di daerahnya. Dalam
pembuatan Perda ini memang tidak bisa asal, tetapi ada beberapa aspek yang
harus diperhatikan sebelum membuat suatu peraturan. yaitu, dari aspek sosiologi
atau kebiasaan masyarakat yang ada di daerah, aspek enomoni untuk menunjang
APBD, dan beberapa aspek lain yang berpengaruh terhadap masyarakat ketika Perda
tersebut berlakukan. Hubungan antara lembaga kekuasaan dalam pembuatan Perda
disini juga harus saling berkesinambungan tentunya, hal ini demi terciptanya
Perda yang baik dan dapat melindungi masyarakat daerah jember sendiri.
Hal ini akan menjadi suatu wacana
belaka, dan hanya menjadi omong kosong ketika dalam praktiknya tidak seperti
yang di harapkan. Kenapa demikian, ketika jember pada saat ini yang dihadapkan
dengan pembuatan Perda tentang penertiban toko modern berjejaring menjadi suatu
polemik besar bagi setiap kalangan masyarakat, dari badan legislatif, beberapa
aktifis, serta para pedagang pasar tradisional yang mengharapkan kepastian agar
perekonomian mereka tetap stabil.
Kinerja lembaga eksikutif yang dipandang
lambat dan bertele-tele dalam memutuskan membuat para pedagang dan lembaga
legislatif gerah. Hal ini disebabkan oleh perda yang seharusnya dapat melindungi
para pedagang pasar tradisional tidak segera disahkan oleh pihak eksekutif,
sehingga toko modern berjejaring di Jember semakin menjamur. Dan dampaknya pun
mengacu kepada perekonomian para pedagang pasar tradisonal yang omzetnya
semakin menurun tiap harinya.
Peran pemerintah daerah yang
seharusnya dapat melihat keadaan yang ada di masyarakat mestinya dapat
menanggulangi dengan menerapkan peraturan yang tepat. Tetapi disini masih
menjadi sebuah misteri ketika lembaga legislatif membuat Perda dan pihak
eksekutif tidak segera manandatangani Perda tersebut. berdasarkan alasan
beberapa pasal yang cacat dan tidak sesuai dengan keinginan pihak eksekutif
menjadi suatu kendala besar dalam proses pengesahannya. Tetapi disini menjadi
hal yang aneh ketika keinginan pihak eksekutif untuk merubah beberapa isi pasal
yang tidak sesuai dengan keinginannya tidak mempunyai dasar yang tepat. Lex superior derodrate degi inferiori
merupakan asas hukum yang tak bisa di ganggu gugat oleh siapapun, yaitu sebuah
aturan tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi (Perda tidak
boleh bertentangan dengan UU). Dalam pembuatan Perda yang sudah disusun
berdasarkan Undang-Undang yang berada diatasnya membuat Perda tersebut tidak
bertentangan di tiap-tiap pasalnya, tetapi disini pihak eksekutif lebih
berkehendak subyektif terhadap isi Perda tersebut.
Berbagai partisipasi dari para masyarakat,
badan-badan legislatif, hingga para aktifis mahasiswa untuk mendorong pihak
eksekutif agar segera mengesahkan Perda tersebut tidak menadapat hasil.
Pengesahan Perda secara otomatis pun ketika pihak eksekutif tidak segera
mengesahkan selama 30 hari juga tidak tampak hasilnya. Sehingga toko modern
berjejaring ini masih dapat bebas untuk melebarkan sayapnya untuk menduduki
tiap sudut jalan yang ada di Jember. Lantas bagaimana nasib para pedagang pasar
tradisional di Jember? Masih tak ada yang dapat melindungi nasib mereka hingga saat
ini.[]
0 komentar:
Posting Komentar