Berebut Kedudukan Dalam Ruang Akademis | Mahasiswa Universitas Jember

Jumat, 10 Mei 2013

0 Berebut Kedudukan Dalam Ruang Akademis

Fakultas Hukum Universitas Jember
Demokrasi berasal dari dua kata bahasa Yunani yaitu Demos (rakyat) Kratos (Kekuasaan), jadi demokrasi adalah kekuasaan ada di tangan rakyat. Dalam implementasinya, demokrasi merupakan perwujudan dari suatu keterlibatan masyarakat dengan kepentingan pemerintah salah satunya berupa hak suara. Dalam sistem demokrasi tidak secara bebas sesuai dengan kehendak masyarakat karena dalam pelaksanaan kehandak tersebut masih dalam koridor hukum, sehingga masyarakat tidak bisa sewenang-wenang dalam bertindak, karena hukum itu sebagai pengontrol semua perubahan.
Menurut Sugijono, kepala jurusan Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Jember (FH UJ) mengatakan, “bentuk demokrasi di Indonesia menggunakan demokrasi perwakilan, karena penduduknya banyak, berbeda dengan negara yang penduduknya sedikit sehingga dapat digunakan demokrasi secara langsung. Negara baru mempunyai eksistensinya jika negara lain mengakuinya, kalau tidak maka negara itu bukanlah apa-apa.”
Bentuk Implementasi Demokrasi
Semakin berkembangnya suatu jaman pastilah banyak hal yang akan mengalami perubahan secar signifikan. Dalam hal ini Totok Sudaryanto, dosen jurusan Hukum Tata Negara mengatakan, “Demokrasi di Indonesia sekarang lebih bagus dan semakin “sehat” dibandingkan pelaksanaan demokrasi di tahun-tahun sebelumnya. Sepanjang aspirasi masyarakat masih mendapat tempat di dalam sebuah titik pemerintahan maka masih layak disebut negara demokrasi.”
Beliau juga mengungkapkan bahwa, salah satu tolak ukur yang dapat dilihat dari perwujudan atau implementasi dari sistem demokrasi di Indonesia ini adalah partai politik, yang merupakan wadah bagi masyarakat lewat pemilihan umum yang dilakukan langsung oleh masyarakat itu sendiri untuk mendapatkan tempat dalam sistem pemerintahan. Hal ini tidak lain sebagai perwujudan negara yang demokratis.
Seperti halnya di negara lain, di Indonesia ini mempunyai aturan hukum yang berlaku bagi semua kalangan masyarakat yang ada di dalamnya, demokrasi merupakan konsep semata yang tidak mempunyai kekuatan untuk mengikat serta memaksa masyarakat untuk menaatinya. Untuk itulah mengapa beberapa aturan hukum ini sangatlah menentukan bagaimana keteraturan suatu negara untuk mewujudkan negara yang demokratis. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Totok bahwa demokrasi tidak dimaknai dalam suasana euforia semata yang hanya mengedepankan kehendak beberapa kelompok saja. Oleh karena itu demokrasi itu harus diatur oleh hukum, karena demokrasi merupakan sarana atau wadah bagi masyarakat untuk mendapat tempat didalam sistem pemerintahan. Salah satunya adalah Hukum Administrasi, yaitu merupakan instrument yang dipergunakan untuk mengendalikan masyarakat, disisi yang lain bagaimana masyarakat berperan serta di dalam pemerintahan. Adanya peran serta tersebut menunjukkan bahwa dalam perwujudannya membutuhkan suasana pemerintahan yang demokrasi.
Sugijono pun juga menambahkan bahwa sistem demokrasi masih layak untuk diterapkan di negara Indonesia. Bukan Demokrasi yang sebebas-bebasnya tentunya, tetapi bebas yang masih dalam ruang lingkup Hak Asasi Manusia (HAM), kebebasan yang dimiliki oleh setiap individu yang tidak bertentangan dengan hak yang dimiliki oleh orang lain yaitu kekuasaan ada di tangan rakyat dan masih dalam koridor hukum yang sudah diatur didalamnya. Maju mundurnya negara dapat dilihat dari ketaatan warganya terhadap norma hukumnya yang ada di dalamnya.


Demokrasi dalam kampus UJ
Sistem administrasi yang diterapkan lingkungan UJ ini dapat dibilang sudah menerapkan unsur-unsur demokratis salah satunya ialah keterbukaan informasi publik, meski ada beberapa hal yang bersifat dan dianggap sensitif bagi pihak rektorat untuk dipublikasikan. Diperkuat dengan pendapat Totok yang mengatakan, “Keterbukaan publik juga merupakan salah satu perwujudan dari demokrasi. Tetapi tidak secara gamblang untuk mempublikasikannya”.
Dengan adanya web UJ juga mahasiswa dapat mengakses beberapa kegiatan dan pengumuman yang sudah dikeluarkan pihak rektor. Pelayanan mahasiswa untuk melakukan kegiatan mendapat respon baik dari pihak rektorat, misalnya dalam membantu pendanaan kegiatan yang akan dilakukan oleh setiap Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Hal ini di tujukan supaya ada timbal balik antara mahasiswa dengan pihak Universitas. Dengan membawa dan mengangkat nama baik serta derajat UJ untuk dikenal oleh masyarakat luas dan tidak hanya ruang lingkup intern saja. Kegiatan UKM ini dilakukan, untuk membuat tingkat kreatifitas, ilmu, pengalaman, mental, serta moral para mahasiswa akan bertambah dan semakin terbentuk. Tidak hanya di dapat didalam ruang kelas yang berupa akademis, tetapi juga non akademis yang nantinya juga sangat dibutuhkan dalam dunia kerja.
Serta hak-hak yang seharusnya didapat oleh mahasiswa juga sudah terlaksana dengan baik, seperti halnya mendapat pendidikan yang layak serta sama antara mahasiswa yang satu dengan yang lainnya.

Keputusan Rektor UJ
Dalam sistem demokrasi yang diberlakukan di Indonesia, seorang kepala negara diberikan suatu hak prerogatif,  yaitu suatu hak istimewa yang diberikan oleh UUD NRI 1945 hanya kepada seorang kepala negara yaitu presiden untuk mengeluarkan putusan, atas nama negara, bersifat final, mengikat, dan memiliki kekuatan hukum tetap. Sebagai pemegang kedaulatan rakyat dibidang eksekutif, hak khusus atau hak istimewa ini tidak dimiliki oleh fungsi jabatan kenegaraan lain. Hak prerogatif adalah hak tertinggi yang tersedia dan disediakan oleh konstitusi bagi kepala negara. Hak ini digunakan oleh Presiden hanya untuk memilih pembantu-pembantunya yaitu Mentri, sebagaimana termaktub dalam pasal 17 ayat 2, pasal 14 ayat 1 dan ayat 2
Tetapi hal ini berbanding terbalik ketika FH UJ melakukan pergantian Dekan. …………………Hasan selaku rektor UJ menyatakan kehendaknya lewat hak prerogatif melantik Widodo Ekatjahjana untuk menjadi dekan FH. Hal itu sangat ditentang keras oleh beberapa kalangan mahasiswa dan dosen fakultas hukum sendiri yang tergabung dalam Forum Mahasiswa dan Dosen Hukum (Formadhu). Mereka melakukan aksi demonstrasi di depan gedung rektorat untuk menuntut penegakan demokrasi, karena hal tersebut dianggap keputusan yang subyektif dan tidak sesuai dengan aturan hukum. Dalam aturan yang berlaku bakal calon dekan yang seharusnya dilantik adalah calon yang mendapat suara terbanyak oleh senat. Tetapi disini rektor memilih dan melantik dekan FH yang secara jelas kalah 1 suara dalam penghimpunan suara senat.
Dalam pernyataan yang diungkapkan oleh Fendi Setyawan salah satu dosen pengajar FH UJ yang melakukan hearing terhadap Rektor UJ mengumumkan kepada mahasiswa dan dosen bahwa Moh. Hasan selaku Rektor UJ menyatakan bahwa “1. Keputusan Rektor adalah sah, rektor secara subyektif mempunyai wewenang mengkualifikasi untuk memilih calon dekan, 2.suara senat dengan komposisi 10 banding 11 dianggap tidak signifikan, 3. Rektor memiliki kerancuan yang terkait dengan interprestasi hukum bahwa persoalan struktural kelembagaan di lingkungan pendidikan tinggi khususnya UJ didekati dengan Undang-Undang Guru dan Dosen yang notabenenya adalah aturan hukum itu mengatur tentang fungsional sebagai tenaga pendidik bukan sebagai tenaga struktural.”
Dalam demokrasi perwakilan, diterapkan oleh UJ dalam pemilihan dekan yang dipilih langsung melalui senat universitas, hal ini merupakan perwujudan dari demokratisasi kampus. tetapi dari sini dapat dilihat bahwa demokratisasi di UJ belumlah mumpuni. Kenyataan yang ada bahwa sistem demokrasi yang seharusnya dapat memenuhi keadilan antar pihak dan demokrasi yang seharusnya digunakan sebagai cara untuk sebuah solusi dalam memecahkan sebuah permasalahan malah berbuah konflik antar akademisi untuk berebut kedudukan.
Ketika ditanya tentang pemilihan dekan ini Sugijono berpendapat bahwa, “tidak ada aturan yang membenarkan bahwa seorang rektor mempunyai hak prerogatif. Dalam hal ini menyatakan bahwa pemilihan dekan FH atas dasar bahwa Rektor mempunyai hak prerogatif untuk memilih Dekan sesuai dengan kehendaknya adalah salah. Dalam konteks ini dapat juga dikatakan bahwa Rektor sudah melangkahi senat yang mempunyai wewenang untuk menentukan dan mengesahkan pilihan berdasarkan banyaknya suara yang didapat oleh calon dekan.
Menurutnya, Rektor hanya dapat melantik seorang Dekan jika ia sudah dipilih secara sah berdasarkan pemilihan yang dilakukan oleh senat. Rektor boleh memilih kalau suara yang didapat sama, tetapi dalam pemilihan ini berbanding terbalik karena perolehan suara yang didapat oleh kedua calon dekan berbanding 10-11 tetapi Rektor disini mengambil sikap secara subyektif dengan dasar hak prerogatif yang dia miliki untuk memilih Dekan dan melantiknya.
Berbeda dengan pendapat Totok ketika ditanya tentang pemilihan dekan ini, beliau mengatakan bahwa, “dalam peraturan Dekan, senat itu hanya memberi pertimbangan kepada Rektor untuk menentukan peringkat calon Dekan untuk diajukan kepada rektor. Salah satu alasannya juga mengacu pada sistem akademika. Perlu dipertimbangkan juga bahwa di dalam konsideran aturan mainnya antara lain untuk meningkatkan kualitas akademik.
Dalam hal ini dapat dikatan bahwa dalam pemilihan dekan dilihat dari segi struktural akademiknya. Salah satu alasannya juga mengapa kenapa calon dekan yang mendapat perolehan suara berbanding satu lebih kecil menang dan diangkat menjadi dekan Fakultas Hukum (FH), karena calon dekan ini mempunyai gelar lebih tinggi dibanding lawannya. Totok membenarkan atas keputusan rektor tersebut, beliau mengatakan bahwa, “dalam pertimbangannya juga dilihat dari adanya program pasca sarjana di FH. Jika dibandingkan, Fakultas Hukum yang memiliki program pasca sarjana lebih mengedepankan calon dekan yang lebih tinggi gelarnya. Berbeda dengan fakultas lain yang tidak memiliki program pasca sarjana, sehingga dapat memilih dekannya dengan gelar S2.” Beliau juga menambahkan bahwa hal itu juga berdasarkan pada UU No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Ketika ditanya tentang hak prerogatif Rektor, Totok menganalogikan bahwa rektor mempunyai kebebasan untuk menentukan. Makna keputusan dalam pembentukannya ada unsur kehendak dari pejabatnya.
Menurut Andik salah satu mahasiswa FH yang tergabung dalam FORMADHU berpendapat bahwa suara yang dimenangkan oleh Sugijono seharusnya menjatuhkan putusan pelantikan Dekan oleh Rektor UJ untuk Sugijono. Tetapi dalam putusannya Rektor malah memilih Widodo untuk diangkat menjadi dekan FH. Hal itu mencoreng nilai demokrasi yang berjalan dalam ruang lingkup perguruan tinggi.
Dalam demokrasi terdapat unsur musyawarah serta perwakilan suara dari masyarakatnya, dimana dalam tataran struktural kelembagaan di lingkungan pendidikan di perguruan tinggi seperti di UJ ini dalam pemilihan dekan yang menjadi perwakilan warga kampus adalah senat, sebagai organ dari perguruan tinggi yang diberikan wewenang untuk memilih, salah satunya ialah memilih Dekan. Andik juga menambahkan bahwa suara senat dalam memilih dekan merupakan perwujudan dari bentuk demokrasi itu sendiri, yang terjadi dalam pemilihan dekan FH ialah bertemunya para senat untuk menentukan siapa nantinya yang akan menjadi dekan FH, akan tetapi rektor UJ menghiraukan keputusan senat yang pilihannya jatuh ke Sugijono.
“Itulah mengapa kami yang tergabung dalam FORMADHU memperjuangkan keadilan dan memperjuangkannya ketika demokrasi itu diselewengkan” tegas Andik.[]


0 komentar:

Posting Komentar

 

Mahasiswa Universitas Jember Copyright © 2011 - |- Template created by O Pregador - |- Powered by Blogger Templates