2012 | Mahasiswa Universitas Jember

Rabu, 24 Oktober 2012

1 FORMADHU Demo Rektorat

FORMADHU
Pelantikan Dekan Fakultas Hukum di lantai 3 gedung Rektorat Universitas Jember tanggal 23 Oktober 2012 menuai kritik dari kalangan mahasiswa hingga dosen pengajar. Prosedur pemilihan yang dianggap salah menjadi alasan mereka melakukan aksi demonstrasi di depan Kantor Rektorat.
       FORMAHDU (Forum Mahasiswa dan Dosen Peduli Hukum Unej) adalah segelintir orang yang mau memperjuangkan nilai demokrasi dan keadilan  yang ada di Fakultas Hukum. Rapat Senat yang sebelumnya diadakan sebelum dilantiknya Dekan baru Fakultas hukum telah menghasilkan suara 10 berbanding 11. Tetapi hasil suara itu hanya dianggap sebuah pertimbangan bagi rektor bukan sebagai pilihan yang pasti digunakan untuk memilih. Kebijakan rektor tersebut dianggap suatu hal yang subyektif dan tidak berdasar, sehingga FORMADHU berani mengecam kritik pedas kepada rektor tentang argumentasinya itu.


Rabu, 08 Agustus 2012

0 MENGENAL LEBIH DEKAT MAHASISWA

Image Repro Internet
Saya pikir kita sepakat bahwa perjalanan menuju perguruan tinggi (khususnya Perguruan Tinggi Negeri) terasa begitu melelahkan, menguras tenaga, waktu, dan tentunya mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Dari awal pendaftaran, tes, hingga kemudian pengumunan. Beberapa prosedur melelahkan untuk akhirnya bisa melihat namanya terselip dalam daftar yang dinyatakan lolos masuk perguruan tinggi. Walau ada yang sedikit kecewa ketika hasilnya bukan jatuh pada pilihan pertama, tapi pasti tetap ada sebuah euforia dalam hati karena sudah mejadi bagian dari pemenang kompetisi. Ya, ini bisa dikatakan sebuah kompetisi untuk mencari siapa yang pantas (pintar dan beruntung) untuk diterima. “Dalam sebuah kompetisi memang harus ada pemenang,” kurang lebih begitu kalimat yang sering diucapkan oleh salah satu juri Indonesian Idol. Jadi harus ada perasaan lapang dada karena bukan berarti yang tidak lolos tidak pantas, mungkin hanya belum beruntung atau belum saatnya.
Secara administratif mahasiswa bisa diartikan sebagai siswa yang dinyatakan lolos dan  memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh Departemen Perguruan Tinggi (Dikti) atau perguruan tinggi tekait.*Sedangkan menurut kamus besar bahasa Indonesia, mahasiswa merupakan seseorang yang belajar di perguruan tinggi. Tapi tentu tidak sesederhana itu untuk memaknai mahasiswa, karena lebih dari itu ada pengembangan-pengembangan yang harus dilakukan seorang mahasiswa dan tidak melakukan hal-hal yang bersifat administratif saja, yang mungkin kering akan nilai. Meskipun mahasiswa terikat oleh suatu definisi study, akan tetapi ada perluasan makna tentang eksistensi dan peran yang dimainkannya. Ada berbagai hal di luar dunia kuliah yang bisa merangsang seorang mahasiswa untuk bisa lebih bersikap dewasa, punya prinsip, dan tegas menentukan pilihan.
                Lantas seperti apa mahasiswa yang ideal? Mendapat predikat cum laude, lulus tepat waktu, punya banyak prestasi, aktif di dunia organisasi, atau begini begitu saja tanpa menghasilkan sesuatu yang berarti. Mungkin kebanyakan mahasiswa yang masuk perguruan tinggi mempersiapkan diri mencari pekerjaan nantinya setelah lulus, tanpa banyak berfikir bagaimana untuk berproses menjadi individu yang profesional. Sebuah pemikiran yang sedikit pragmatis memang. Namun akhirnya keinginan-keinginan itu bernrgosiasi dengan keadaan lingkungan yang mempengaruhinya. Jika keadaan lingkungan yang tidak kondusif mempunyai potensi tinggi untuk mengarahkan mahasiswa kepada hal-hal yang sia-sia atau melakukan sesuatu yang tidak menghasilkan apa-apa. Atau mungkin malah lebih banyak negatifnya. Itu artinya secara tidak sadar mahasiswa tersebut telah merencanakan untuk tidak sukses. Walapun hasil akhir bukan kita yang menentukan pastinya. Namun jika kita bisa memilih lingkungan yang tepat, tentu akan mengantarkan kita kepada hal-hal yang positif yang bisa menunjang prestasi kedepannya.
                Berbicara tentang proses, hingga akhirnya menentukan hasil akhir mahasiswa, tentu sangat bervariasi. Mari sedikit membincangkan gelar-gelar sosial yang bisa disandang seorang mahasiswa selama prosesnya. Gelar sosial yang tidak terikat yang berfungsi hanya sebagai pembeda antara satu dengan lainnya. Misal mahasiswa Kupu-kupu (Kuliah pulang-kuliah pulang), Kura-kura (Kuliah rapat-kuliah rapat), Kuda-kuda (Kuliah dagang-kuliah dagang), dan yang lainnya. Mahasiswa Kupu-kupu merupakan mahasiswa yang “katanya” kerjaannya kuliah saja dan tidak ada aktifitas yang lain. Fokus utamanya hanya kuliah dan kuliah, target utama adalah mengejar Indeks Prestasi (IP) setinggi-tingginya. Namun mahasiswa Kupu-kupu bisa punya arti lain, yaitu mahasiswa yang kerjaannya kuliah dan main-main saja, tidak ada tujuan khusus yang ingin dicapai. Menjalani hidup secara mengalir dan santai. Mahasiswa Kura-kura merupakan mahasiswa yang disamping kuliah juga aktif  berorganisasi. Bahkan ada sebagian yang lebih memprioritaskan aktifitas beroganisasi daripada mengejar ilmu di bangku kuliah. Bagi mereka belajar di bangku kuliah tak lebih penting dari ilmu-ilmu yang harus ditangkap di luar, lebih menantang, lebih seru, bermain akal, argumentasi, pengalaman, dan lain sebagainya. Tidak seperti di bangku kuliah yang hanya mendengarkan dosen bicara.
Dan berikutnya adalah mahasiswa kuda-kuda, merupakan mahasiswa yang nyambi bekerja. Namun biasanya mahasiswa yang sambil kerja, adalah mahasiswa yang telah kuliah beberapa tahun. Karena di tahun awal masih menyesuaikan diri dengan dunia barunya, dunia yang begitu berbeda dengan dunia sebelumnya, Sekolah Menengah Atas (SMA).

               Terlepas dari semua golongan itu, saya yakin semua mahasiswa pasti punya impian yang sama, yaitu bisa menyandang gelar sarjana. Sebagai bukti bahwa mereka telah menyelesaikan belajar di perguruan tinggi. Sebuah gelar kehormatan untuk  pelajar di level tertinggi. Namun yang jadi pertanyaan, apakah sarjana-sarjana itu sudah siap dengan dunia setelahnya? Ini kemudian yang menjadi keraguan bersama. Karena memang tidak semua mahasiswa yang menjalankan fungsi dan perannya sebagai seorang mahasiswa. Pilihan ada diawal, mau dibawa kemana dunia kemahasiswaannya. Harapan-harapan diawal sebaiknya ditata menjadi rencana kerja yang spesifik, agar nantinya tidak ada penyesalan di akhir cerita.[]

Oleh: Mahfudz Hasan


2 Kota Tembakau Terbentuk

Bagi mereka para calon mahasiswa baru yang belum pernah menginjakkan kakinya di jember, pasti akan bertanya-tanya dimana itu jember dan seperti apa kota tersebut. Jember yang berada di wilayah timur pulau jawa memliki lahan luas dan subur rehingga digunakan sebagai lahan perkebunan. Selain itu Jember identik dengan tembakau. Untuk itulah simbol kota jember berbentuk tembakau.
Tentu bukan tanpa alasan Jember dianggap sebagai kota tembakau. Simbol tembakau pada kota Jember mempunyai sejarah yang cukup panjang.
Sejarah bermula dari seorang putri yaitu Jembersari. Ia merupakan penganjur pembangunan pertanian dan pemukiman pertama daerah ini. Penduduk setempat pada waktu itu hanya menanam  tanaman pangan yang sesuai dengan kebutuhan. Masyarakat saat itu hanya mengetahui tanaman pangan padi dan jagung agar mereka tetap survive.
Saat pemerintahan Belanda datang ke wilayah Jember, mereka mengubah Jember menjadi daerah perkebunan. Sebab orang Belanda saat itu beranggapan bahwa tidak hanya tanaman pangan yang bisa mencukupi kebutuhan hidup. Penelitian tanah pun dilakukan dan dicoba untuk menanam tanaman yang bisa laku di pasarkan yaitu tanaman tembakau.
George Birnie adalah seorang pengusaha Belanda yang membuka perkebunan tembakau di Jember pada abad 19. Saat itu pula penduduk setempat di pekerjakan untuk mengelola perkebunan tersebut. Dengan peningkatan permintaan tembakau yang terus bertambah membuat Birnie kekurangan tenaga kerja. Untuk itu ia mendatangkan pekerja dari Madura dan Jawa.
Usaha Birnie semakin berkembang memberikan pengaruh terhadap infrastruktur di daerah Jember. Jember mulai bergerak menjadi menuju identitas baru dan menuju proses modernisasi. Perubahan ini ditunjukkan dengan terbentuknya pembangunan jalan, irigasi, jembatan, serta jalur kereta api. Jalur kereta api yang menghubungkan Jember – Panarukan dan Jember – Banyuwangi. Pada 13 Januari 1883, Jember memisahkan diri dari Bondowoso dan berdiri menjadi kabupaten baru. “sejak saat itulah Jember dikenal kota tembakau. Sehingga simbol-simbol di bagian kota terdapat gambar tembakau, ungkap pak Edy.”
Setelah tembakau berhasil dipasaran, tentunya Birnie ingin mencoba menanam tanaman perkebunan lain. Melihat lahan banyak yang kosong Tanaman perkebunan pun mencoba menanam tanaman peunungan seperti kopi, kakau, karet, dan tebu. Hasil tanaman tersebut juga laku di pasaran, namun tidak bisa mengalahkan hasil tanaman tembakau. Untuk itu kopi, kakau, karet, dan tebu menjadi tanaman sampingan. 
Perjuangan Binie tidak berhenti disitu saja, ia mendidrikan lembaga perkebunan yang dinamakan Besuki Sportosio yang meneliti kondisi tanah dan keadaan iklim di daerah Besuki. Hal ini dilakukan agar kualitas dan kuantitas tanaman perkebunan menjadi semakin membaik.
Dengan penghasilan daerah yang melimpah, kesejahteraan penduduk juga meningkat. Namun hal itu berbanding terbalik saat terjadi nasionalisasi. Penduduk pribumi yang tahu bahwa rakyat diperbudak untuk kesejahteraan Belanda membuat mereka memberontak.
Sampai sekarang pun dapat kita lihat, keadaan Jember yang awalnya perkebunan tembakau terbaik kini tinggal kenangan. Sebab, tembakau yang dihasilkan sekarang tidak sebaik tembakau dulu dengan kualitas dan kuantitasnya. Saat itulah Jember mempunyai sejarah perkebunan besar. Namun tetap saja sejarah berkata bahwa Jember terbentuk dan berkembang karena perkebunan tembakau.[]


Rabu, 18 Juli 2012

0 PENELITIAN YANG BERJARAK

Penelitian merupakan salah satu unsur dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi selain pendidikan dan pengabdian masyarakat. Kegiatan penelitian yang dihasilkan oleh Penelitian Tinggi (PT) terbagi menjadi dua, yaitu penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa dan staf pengajar. Penelitian yang dilakukan oleh staf pengajar melibatkan dosen secara langsung. Kegiatan ini dapat dilakukan oleh staf pengajar (dosen) sendiri, staf pendukung dan dimungkinkan juga dengan melibatkan mahasiswa. Jika tidak, maka gelontoran dana besar tanpa didukung kultur peneliti untuk selalu maju pun tidak akan dapat berjalan dengan maksimal. Oleh karenanya dibutuhkan hubungan sinergi dalam internal antara peneliti, lembaga penelitian, dan dalam aspek ini dibutuhkan pula peran mahasiswa.

Keterlibatan Mahasiswa
Idealnya, seorang dosen memang harus melibatkan mahasiswa dalam kegiatan penelitian. Menurut Drs. Andang Subaharianto, M. Hum., Pembantu Rektor III (PR III) Universitas Jember (UJ), dalam beberapa tahun terakhir ini cara seperti itu sudah mulai dicoba oleh Lembaga Penelitian (Lemlit). Jadi apabila ada beberapa dosen yang mendapatkan hibah riset, maka Lemlit meminta para dosen supaya mengajak mahasiswa dalam penelitian nantinya. “Jadi lembaga penelitian sudah meminta dosen-dosen yang meraih hibah penelitian ini untuk melibatkan mahasiswa, sekurang-kurangnya dua. Tapi saya kira memang idealnya seperti itu, jadi seorang dosen mendapatkan hibah riset, sebaiknya memang yang banyak bekerja ini adalah mahasiswa-mahasiswa dari dosen itu. Dari sini nanti dosen itu bisa transfer ilmunya, kalau di lapangan itu harus bagaimana dan seterusnya, tetap yang bertanggung jawab atas riset ya dosen itu,” ia melanjutkan.
Andang menambahkan, walaupun metode seperti ini sekarang belum menjadi satu gejala umum dan sangat minim, tetapi dengan dorongan yang dilakukan oleh pihak Lemlit dan universitas, dirinya yakin model ini akan terbiasa diaplikasikan. Akhirnya para dosen peneliti akan menggunakan mahasiswa untuk membantu menyelesaikan risetnya. Maka sejak tahun 2009 lemlit mulai menetapkan sistem seperti itu agar dapat mendukung iklim penelitian yang diharapkan.
Lebih jauh Andang menjelaskan, jika dulu hanya imbauan, saat ini lebih bersifat spserti tanggung jawab yang diminta oleh Lemlit terhadap dosen. Maksudnya seperti ada pemantauan dari pihak Lemlit kepada para dosen untuk menanyakan kejelasan peran mahasiswa dalam proses penelitian. Kemudian target sampai tahap apa keterlibatan mahasiswa dalam penelitian juga akan menjadi pertanyaan selanjutnya. Misalnya, tujuuan mahasiswa dilibatkan dalam penelitian supaya mereka juga bisa mendapatkan inspirasi untuk menuliskan skripsinya. Pada saat presentasi akhir, masing-masing peneliti sudah harus dapat menunjukkan dengan jelas siapa saja mahasiswa yang diajaknya dalam penelitian.
Jika kultur penelitian bisa berjalan se-ideal itu, tentu saja banyak manfaat yang bisa diambil oleh dosen dan mahasiswa. Dosen yang tidak hanya dituntut untuk mengajar, namun juga pengabdian kepada masyarakat melalui penelitian. Pada kesempatan inilah mahasiswa bisa masuk sebagai asisten dosen dalam penelitian. Biasanya mahasiswa tidak dilibatkan langsung dalam proses penyusunan karya tulis penelitian si dosen, melainkan sebagai pelaksana teknis yang lebih banyak membantu dosen dalam proses riset di lapangan. Sehingga melalui cara ini dosen bisa mentransfer ilmunya kepada mahasiswa, dan harapan ke depan mahasiswa bisa lebih mempercepat masa studinya. Akhirnya keterlibatan mahasiswa menjadi sinyal positif di mana mereka dapat menambah ilmu dan pengalaman, dan tentu mempermudah penelitian dosen tersebut.
Namun untuk mencapai tahap ideal itupun membutuhkan dana yang tidak sedikit dimana faktor eksternal menentukan di sini. Anggaran dari luar memegang peranan penting karena universitas tidak mungkin membiayai biaya penelitian sendiri mengingat dana penelitian yang cukup besar. Penghasilan perguruan tinggi menentukan keterlibatan mahasiswa dalam penelitian, karena dari penghasilan tersebut pengeluaran untuk mahasiswa bisa terealisasi.
             “Ada faktor eksternal, ada anggaran dari luar, kita (universitas.red) nggak mungkin mendanai penelitian sendiri itu, nggak ada satu perguruan dimanapun. Yang menentukan itu pertama sebagai revenue (penghasilan) dari perguruan tinggi, diharapkan kalau bisa itu mahasiswa nggak usah bayar jadi semua biaya ini dari hasil riset, idealnya begitu. Tetapi nggak mungkin semua terpenuhi, terlalu idealis, jadi paling nggak dana pembinaan mahasiswa itu bisa didapat dari dana riset dari luar. Mereka dilibatkan, kalau perlu dibayar di situ sebagai tenaga peneliti juga sambil menyelesaikan skripsi dan tesisnya, kemudian menulis bareng-bareng di jurnal seminar bersama-sama,” tandas Dr. Ir. Cahyoadi Bowo, yang saat ini masih menjabat sebagai ketua Lemlit Universitas Jember.
            Menurutnya, karakteristik mahasiswa yang melakukan penelitianpun bermacam-macam. Ada penelitian mahasiswa untuk skripsi, maka sepenuhnya mahasiswa yang akan lulus dari Universitas Jember (UJ) akan memakai penelitian. Artinya, seluruh mahasiswa harus melakukan penelitian. Kemudian ada beberapa mahasiswa, “Termasuk mahasiswa saya juga,” kata Cahyoadi, yang memang memerlukan dana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di sini. Mereka melakukan penelitian, berbagai hal dilakukannya baik di dalam maupun di lapangan. Setidaknya mereka dapat pemasukan setiap bulan dari pengeluaran untuk penelitian itu. Selanjutnya ada pula peneliti mahasiswa yang memang ikut penelitian berdasarkan keinginan belajar saja. Dalam hal ini mereka tetap mendapat uang transportasi, uang makan, dan sebagainya. Karakteristik yang lain yaitu mahasiswa penelitian dikarenakan mau mengikuti lomba karya ilmiah baik bersama dosen atau mandiri dengan bimbingan dosen.
            Selanjutnya Cahyoadi menambahkan bahwa Lemlit tidak berhubungan langsung dengan mahasiswa karena wewenang penelitian mahasiswa adalah ranah fakultas. Tetapi jika ada kelompok-kelompok peneliti mahasiswa dari fakultas manapun meminta bantuan Lemlit, misalnya pelatihan, minta data, dan sebagainya, maka lemlit akan membantu. “Misal, memerlukan gedung ini buat penelitian sangat boleh, tanpa ditarik biaya. Karena itu bagian dari pelayanan lembaga penelitian, termasuk untuk para mahasiswa. Tapi kalau mengajukan proposal dan sebagainya bukan di sini tapi di fakultas. Yang kita lakukan adalah pendampingan,” imbuhnya.

Keberadaan peneliti muda
            Kompas edisi (Sabtu, 8 Oktober 2011) lalu pernah mengulas sebuah tulisan dengan judul “Menghidupkan Budaya Penelitian”. Pada lead tulisan itu terpampang jelas kalimat “mengabaikan potensi peneliti muda ibarat membiarkan punai di tangan lepas. Itu menambah tumpukan kelalaian bangun masa depan”. Dilengkapi pembahasan yang garis besarnya menggambarkan hilangnya peneliti muda di tengah rendahnya apresiasi pemerintah pada mereka. Tulisan ini benar-benar merepresentasikan ketidakprofesionalan pemerintah dalam menjaga keberadaan peneliti muda.
            Dampaknya pada kondisi real, penelitian yang dilakukan oleh para akademisi dan peneliti mudapun jarang berlanjut sehingga tidak dapat diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Kerap kali hasil penelitian hanya merupakan muara akhir dari sebuah pemikiran. Yang lebih ironis bahkan hanya menjadi koleksi perpustakaan. Kalaupun mendapat apresiasi, wujud penghargaan yang didapat biasanya hanya sebatas materi, seperti sertifikat, trofi, dan sejumlah uang yang tidak mencukupi untuk pengembangan penelitian selanjutnya. Keadaan ini tentu melemahkan minat dan konsistensi pengadaan penelitian. Lalu bagaimana dengan keberadaan peneliti muda di UJ?
            Cahyoadi mengatakan bahwa pada saat lomba karya ilmiah mahasiswa di Makasar lalu, UJ memperoleh medali emas yang disumbangkan oleh mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM). Sebelum berangkat, saat itu para mahasiswa dilatih untuk presentasi, serta mengoreksi lagi isi tulisan yang akan dipresentasikan dan sebagainya. Sampai dosen pun disangkut-pautkan dalam hal ini untuk mengoreksi proposal yang telah dibuat mahasiswa. Artinya, potensi UJ saat ini sudah tidak terlalu jauh tertinggal dari universitas-universitas unggulan lainnya. Sejak tahun kemarin, UJ memang sudah mulai lebih intensif memberikan pelatihan-pelatihan.
            Sedangkan menurut Mochammad Sholehuddin, Mahasiswa FKM, angkatan 2010 yang memenangkan Lomba Karya Tulis Bidang Kemaritiman PIMNAS Makassar tersebut. Peran universitas hanyalah sebatas memberi informasi jika ada lomba-lomba karya tulis, sedangkan untuk mendapatkan data-data guna menunjang referensi yang dibutuhkan bisa didapatkan melalui Lemlit. Ketika karya tulis kelompoknya (baca: tiga mahasiswa FKM) dinyatakan lolos, barulah UJ melakukan tindakan konkrit. Bersama rektorat, mereka diberi persiapan melalui bimbingan mengenai cara menyampaikan materi dengan presentasi yang baik dan benar. Sampai dengan menyumbang literatur, serta pendanaan keberangkatan presentasi ke Makasar seluruhnya difasilitasi oleh UJ.
            Hasil penelitian mereka yang berjudul “Upaya Peningkatan Kualitas Udara Dengan Penanaman Casuarina Equisetifolia Untuk Kawasan Wisata Pantai Yang Sehat” rencananya akan dilanjutkan. Namun segalanya masih terkendala oleh kegiatan akademis dan hal-hal lain. “Sebenarnya kemarin kalau bicara dengan dosen pembimbing kami, beliau mengusulkan bagaimana kalau melakukan penelitian terkait hal itu. Cuma sampai sejauh ini kita belum menghubungi lagi karena masih UTS dan lain sebagainya, tapi untuk ke depan kita pengen adanya penelitian di sini,” tandasnya.
            Ia menambahkan bahwa belum ada tindak lanjut dari universitas untuk menjaga atau memberdayakan keberadaan mereka sebagai peneliti muda sampai sejauh ini. Selain uang pembinaan Rp 2.900.00,00 untuk satu kelompok, selebihnya hanya urusan sertifikat kemudian data-data hard copy, baru sebatas pengarsipan saja. Jika ingin melakukan penelitian bersama (dosen), pasalnya memang belum ada tembusan dari pihak mereka (mahasiswa) sendiri kepada pihak universitas untuk menindaklanjuti karya tulis tersebut. Karena apapun yang dilakukan universitas tergantung pada pengajuan dan bantuan seperti apa yang dikehendaki mahasiswa.
            Mahasiswa FKM ini juga mengomentari rendahnya inisiatif mahasiswa untuk terlibat dalam penelitian sehingga membuat UJ tertinggal jauh dengan universitas lainnya. Pada saat Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) yang diikutinya beberapa waktu lalu, ia melihat besarnya antusiasme penelitian-penelitian universitas lain. Berbanding terbalik dengan UJ yang menurutnya hanya ada beberapa saja. “Kalau saya bandingkan satu banding seribu mungkin ada. Kemarin  (baca: saat lomba karya tulis) itu yang terbanyak dari UGM dan ITS, memang kalo diperbandingkan dengan proposal yang masuk lebih banyak dari sana,” imbuh Sholehuddin. Semangat dosen-dosen dalam penelitian tidak diimbangi dengan penelitian mahasiswa yang hanya berkutat pada keterlibatan penelitian di saat skirpsi saja. Menurutnya, mahasiswa UJ harus mulai memiliki  inisiatif membuat inovasi penelitian yang terbaru.
            Menurut Sholehuddin lagi, mahasiswa lebih tertarik jika diajak dosen untuk penelitian. Dosen harus terbuka dan mahasiswa juga harus punya inisiatif untuk membuat sebuah tulisan penelitian kemudian disampaikan ke dosen. Selaras dengan pernyataan tersebut, PR III juga menyatakan bahwa jalannya penelitian itu koordinatif. Dimana tetap ujung tombak patut disematkan kepada para dosen yang ada di program-program studi. Kemudian para dosen harus koordinatif dengan laboratorium, dilanjutkan koordinatifnya dengan lembaga penelitian yang secara institusional memiliki tugas mengkoordinasikan penelitian-penelitian yang ada di UJ. Bagaimanapun juga, Lemlit diisi oleh peneliti-peneliti yang tidak lain adalah staf pengajar di PT itu sendiri. Oleh karenanya, selain memperkaya pembelajaran, riset dosen juga diharapkan mampu mendorong kemajuan bangsa dalam penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
            Ada beberapa catatan yang harus diperhatikan UJ untuk menarik minat mahasiswa dalam bidang penelitian menurut Sholehuddin. Yang pertama, UJ harus siap mendanai penelitian mahasiswa yang memang sudah terlihat potensinya. Mahasiswa yang memang telah diuji oleh (mungkin) dosen-dosen bergelar pofesor, dan dia telah dinyatakan berpotensi. Yang kedua, dukungan dari dosen-dosen. Sebuah penelitian tidak mungkin hanya meninjau dari satu keilmuan saja. Dibutuhkan kerjasama dosen dari tiap-tiap fakultas, serta profesor-profesor dan doktor dalam hal ini. Yang ketiga, perlu dibentuknya Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) penelitian seperti Pelita di tingkat universitas.
            Sedang menurut Afrian Danny, selaku ketua UKM Pelita, ketika menyikapi keberadaan ruang yang diberikan UJ kepada peneliti muda untuk mengeksplorasi ilmunya. Ia berujar mungkin pihak universitas perlu memperhatikan statistik penelitian di mahasiswa itu seperti apa. Semisal memang dibutuhkan pelatihan, hal tersebut tidak hanya dilakukan oleh UKM Pelita. Tetapi dari pihak universitaspun mengadakan pelatihan bagi mahasiswa. Karena baginya, pelatihan yang diadakan oleh universitas tentu lebih berbobot dibandingkan penelitian mahasiswa.
            Lebih jauh lagi, mahasiswa Kedokteran Umum angkatan 2009 ini berpikir bahwa perlu dibuat sebuah student center yang mampu mengakomodasi seluruh aspirasi mahasiswa. Yang dimaksud Student Center di sini adalah tempat berkumpulnya mahasiswa. Tidak hanya anggota UKM Pelita, tetapi orang luarpun bisa bergabung di sana. Bukan sekedar sekretariat sehingga mahasiswa yang memiliki ide cemerlang bisa langsung berkumpul di tempat tersebut. Sedangkan Lemlit menurut pemahaman mahasiswa adalah lembaga yang lebih dekat dengan dosen.
            Cahyoadi pun mengamini hal tersebut, menurutnya Lemlit memang memiliki keberjarakan dengan mahasiswa. Diungkapkannya, “Kita lembaga penelitian ini memang berjarak dengan mahasiswa, kita dekat dengan dosen tapi berjarak dengan mahasiswa. Mahasiswa itu seharusnya dekat dengan dosen, dosen ada di bawah fakultas. Jadi mestinya, semua inisiatif itu ada di dalam fakultas. Kalau memerlukan yang lebih lanjut, kita di Lemlit siap selalu membantu dengan sumber daya yang ada.”[]


0 Kenapa Universitas Jember Tidak Butuh BEM*

Pilrek Universitas Jember (UJ) tahun ini diramaikan wacana pembentukan Badan Eksekutif Mahasiswa  Universitas (BEM U). Kali ini, wacana ini muncul dengan keramaian. Sasarannya jelas: para calon rektor, yang otomatis adalah rektor baru.
       Saya pikir momentum ini tepat. Karena terang saja, setiap calon rektor baru selalu menginginkan popularitas dan ‘suara’ mahasiswa. Dua hal yang akan menjadi basis legitimasi saat salah satu dari mereka, calon rektor tersebut, gunakan sewaktu menetapkan dan mengeksekusi kebijakan nantinya.
      Logikanya sederhana, setiap mekanisme politik pada level apapun, di wilayah manapun, selalu berlandasan pada komitmen (calon) pemimpin dan rakyatnya. Kalau disini, adalah rektor pada mahasiswa dan dosen. Karena dosen sudah ‘cukup’ terwakili lewat senat universitas, maka sekarang tinggallah merebut suara mahasiswa. Caranya, membuat kontrak dengan perwakilan’ mahasiswa. Siapa ‘perwakilan’ tersebut kalau bukan Unit Kegiatan Mahasiswa yang BEM Fakultas. Hasilnya kita sudah tahu beberapa saat lalu, adalah semacam MOU antara para calon rektor tersebut dengan BEM-BEM di tingkat fakultas, yang kebetulan juga telah memiliki sejenis aliansi. Kerja sama yang menguntungkan. Semua senang, semua dapat keuntungan.
         Saya berada dalam posisi kontra di isu pembentukan BEM U tersebut. Dan tulisan ini akan memuat argumentasi saya terkait alasan utama rekan-rekan yang tampaknya sangat berhasrat dalam membentuk BEM U. Yaitu belajar berorganisasi.

*****
         Saya agak geli ketika alasan tersebut diutarakan. Karena BEM menggunakan proses politik, apalagi kalau bukan politik perebutan kekuasaan, yang otomatis mencangkokkan ruh politik  pada organ ini. Politik semacam ini tentu saja terkait erat dengan distribusi kekuasaan. Siapa yang memimpin BEM U, dia dan golongannya akan mendapat serangkaian keuntungan dari jabatannya tersebut, dan pada titik tertentu dia akan mewakili suara ‘seluruh’ mahasiswa universitas ini. Ini demokrasi bukan?
        Tidak dapat disangkal, proses politik semacam itu juga selalu menghendaki pertarungan. Kita pasti langsung ngeh siapa saja yang punya keinginan bertarung dan berkuasa tersebut. Saya sendiri berasal dari jurusan Hubungan Internasional, tahun ajaran 2011/2012 ini adalah tahun kelima saya kuliah, dan sejak 4 tahun yang lalu saya adalah anggota tetap UKM Pers Mahasiswa. Dua hal tersebut, utamanya yang terakhir, membuat saya sedikit paham mengenai pemetaan politik di kampus yang kita cinta ini.
        Tak perlu jauh-jauh, setiap pemilu BEM di tingkat fakultas, seperti di Fakultas ISIP, Sastra, dan Ekonomi yang saya tahu sendiri selalu mempertarungkan dua kubu besar dan di tengahnya selalu ada suara ‘netral’. Dua kubu besar tersebut merepresentasikan kekuatan organisasi ekstra di dalam kampus masing-masing. Sedang yang saya sebut ‘netral’ adalah kekuatan mahasiswa yang tidak peduli dengan label ekstra.
        Kembali pada inti persoalan, pembentukan BEM U pasti tidak akan bisa jauh-jauh dari adu kuat organsasi politik ekstra. Saya tidak mau dan memang tidak berniat memojokkan rekan-rekan dari PMII, HMI, GMNI, KAMMI, dsb., tersebut. Karena memang di ajang adu kuat itulah satu-satunya arena unjuk gigi dan aktualisasi mereka di dalam kampus. Akan tetapi saya menyerukan pada rekan-rekan mahasiswa yang menjadi anggota organisasi ekstra tersebut agar sedikit lebih arif dalam memandang persoalan ini.
         Ingat, kita dibekali teori di masing-masing bidang keilmuan kita untuk memecahkan masalah yang muncul dari realitas sehingga realitas berikutnya lebih baik untuk orang yang lebih banyak. Dan realitas itu hadir di depan mata kita sehari-hari.  Jangan malah membikin masalah baru karena tingginya ego pribadi dan demi kepuasan nafsu berkuasa golongan lalu berperang satu sama lain.
             Meskipun sangat mendamba adanya BEM U, mungkin rekan-rekan telah sadar kalau BEM U sangat berpotensi dianggap musuh bersama serta menjadi arena tabrakan kepentingan baik secara internal maupun eksternal konteks BEM U tersebut. Horizontal dalam arti akan ada pembelahan dan tabrakan kekuatan dari masing-masing organisasi ekstra pada arena perebutan kekuasaan dan kepentingan. Sedang secara eksternal akan ada tabrakan kepentingan dari organ mahasiswa internal lain, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).
         Apabila tidak diantisipasi dengan tepat, potensi kerusakan dari tabrakan-tabrakan ini akan sangat merugikan mahasiswa sendiri. Dan tentu saja akan ada pihak-pihak yang sangat senang dan mengambil keuntungan lewat hal tersebut. Pihak-pihak ini yang seharusnya menjadi ‘musuh’ bersama mahasiswa.

*****
             Musuh kita sejatinya adalah para dosen yang tidak paham materi dalam memberikan perkuliahan dan atau sering bolos karena berbagai alasan, serta yang sering merendahkan mahasiswa hanya karena mereka menganggap diri mereka lebih segala-galanya dibanding mahasiswa. Atau para birokrat kampus yang tidak memberikan pelayanan terbaik bagi mahasiswa padahal jelas-jelas mereka dibayar untuk itu.
            Juga pimpinan universitas yang hanya peduli pada peringkat yang dibuat oleh lembaga survei tertentu, bukan pada mahasiswanya sendiri. Pimpinan yang hanya punya pikiran mempercantik tampilan fisik kampus, membuat patung dan membangun ini-itu tanpa menguatkan aspek substansial dari institusi pendidikan itu sendiri yaitu intelektualitas dan pengabdian pada masyarakat.
          Di skala yang lebih berat, para mahasiswa harusnya mampu menjadi pembaca yang  lebih baik terhadap masalah-masalah di masyarakat luas ketimbang subyek-subyek lain. Bukan malah hanya peduli pada diri sendiri dan kelompok. Karena mahasiswa adalah subyek yang memiliki ‘kualitas’ dan ‘ruang’ tertentu yang tidak dimiliki subyek lain. Makanya dahulu mahasiswa pernah disebut agen perubahan. Sejarah sudah membuktikannya berulang-kali: tahun 1928, 1945, 1966, 1978, 1988, dan 1998.
          Sejatinya saya yakin bahwa kampus bukanlah arena pertarungan politik atau perebutan kekuasaan antar mahasiswa. Dua hal yang kemudian membuat organ-organ mahasiswa rutin berperang dan bermusuhan tiap tahun demi jabatan struktural semata lalu mengakar dan menyempitkan pandangan dunia masing-masing.
Terakhir, saya sekedar mengingatkan kampus bukan negara, selamanya akan begitu. Mahasiswa selalu menghormati rasionalitas dan hati nurani, bukan pertarungan dalam proses politik praktis yang disebut sebagai prosedural demokrasi. Dan kita mahasiswa adalah pelajar, umat ilmu pengetahuan, bukan politisi, umat kekuasaan.[].


0 Alangkah Lucunya Negeri Ini

PANAS, sangat berisik dan penuh orang. Pola interaksi di pasar menunjukkan bagaimana keadaan negeri ini. Masih banyak pedagang yang berbohong, banyak agama dan suku bangsa yang ada di Indonesia. Hal yang menjadi latar belakang dari film 'Alangkah Lucunya Negeri Ini'. Film ini mencoba mengangkat betapa pentingnya pendidikan dan mengkritik kebijakan pemerintah tentang pendidikan masyarakat. Pemerintah menggembor-gemborkan betapa pentingnya bersekolah, tapi disatu sisi masih banyak anak malah berkeliaran di pasar dan di lampu-lampu merah untuk mencopet dan berjualan. Padahal sudah jelas dalam pasal 34 ayat (1) UUD '45 bahwa fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Namun kenyataanya masih sangat banyak yang tidak diurus oleh negara. Dan mengenai seberapa penting pendidikan itu sendiri dilihat dalam film ini.
      “Kalau elo nggak berpendidikan, elo nggak akan tau kalau pendidikan itu tidak penting. Makanya pendidikan itu penting.” Inilah pernyataan Muluk yang membuat Samsudin tidak bisa menyangkal akan betapa pentingnya pendidikan itu. Memang menjadi lumrah jika Samsudin cenderung menyepelekan arti pendidikan karena ia adalah tipe sarjana yang setelah lulus hanya menjadi pengangguran dan membuang-buang waktunya dengan bermain gaplek di pos kamling. Melihat hal tersebut, kemudian Muluk mengajaknya untuk mengajar copet-copet yang dinaungi oleh Bang Jarot. Awalnya Muluk hanya mencoba untuk mendapatkan keuntungan dari kerjasamanya dengan para pencopet kecil itu. Dia menawarkan dirinya sebagai konsultan dan mengolah uang hasil mencopet mereka untuk membuat usaha agar mereka tidak mencopet lagi kelak. Tapi kemudian Muluk tergugah untuk mengubah mereka menjadi lebih baik, dengan cara mengajarkan ilmu Kewarganegaraan dan Agama terhadap para pencopet kecil itu.
      Muluk melibatkan kedua temannya yang juga sarjana muda untuk mengajar para pencopet itu agar mereka menjadi orang yang berpendidikan walau tanpa bersekolah. Setelah orang tua mereka tahu bahwa anak-anaknya digaji dari uang hasil mencopet, mereka benar-benar menolak keras apa yang mereka berikan. Karena hal itulah Muluk dan temen-temannya berhenti mengajar pencopet-pencopet itu. Setelah mereka pergi, Bang Jarot memberikan pilihan kepada anak buahnya untuk menjadi pedagang asongan atau terus menjadi pencopet. Sebagian dari mereka ada yangmemilih menjadi pedagang asongan dan yang lain tetap memilih menjadi pencopet.
       Dari film ini kita bisa melihat bahwa, pemerintah sangat kurang perhatian terhadap masyarakat yang memang membutuhkan perhatian, apa lagi dari segi pendidikan. Tingkat pendidikan indonesia sangat rendah. Oleh karena itu, menjadi suatu kewajiban bagi mereka yang mengenyam bangku  perkuliahan untuk membagi ilmunya kepada mereka yang tidak merasakan bangku sekolah. Hal tersebut merupakan salah satu bentuk pengabdian kita sebagai mahasiswa terhadap masyrakat dan negara.[]

0 DUA SISI MATA UANG


Image Repro Internet
KATA kartun tentunya sudah tidak asing lagi di telinga kita. Kartun yang berasal dari bahasa inggris cartoon atau cartone dalam bahasa italia ini diperkirakan pertama kali masuk ke Indonesia pada sekitar tahun 1920-1930an. Sejak saat itu banyak kartun yang masuk ke Indonesia hingga saat ini, entah dalam bentuk film yang ditayangkan di televisi ataupun komik yang bisa ditemukan di berbagai toko buku dan internet.
Derasnya arus masuk berbagai kartun ke Indonesia tentunya harus diikuti sikap preventif untuk menyaring berbagai nilai positif dan negatif yang terkandung dalam kartun-kartun tersebut. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Pada tahun 2008 yang lalu, KPI mengelompokkan semua kartun yang disiarkan di Indonesia dalam kategori Aman, Sedang, dan Berbahaya. Dari sekian banyak kartun yang beredar tersebut, setidaknya ada sepuluh kartun yang dicekal oleh KPI karena dianggap tidak mendidik dan membawa pengaruh buruk bagi perkembangan anak-anak Indonesia.
Alasan yang paling banyak dipakai KPI sebagai dasar pencekalan kartun-kartun tersebut adalah banyaknya adegan kekerasan yang terdapat dalam setiap episode kartun yang bersangkutan. Sebagai contoh adalah adegan kekerasan yang ada di Naruto, Bleach, dan One Piece. Kartun-kartun tersebut juga menampilkan berbagai tokoh dengan pakaian minim dan seksi, adegan ciuman maupun percintaan. Hal ini tentu tidak cocok jika ditawarkan kepada penontonnya yang ratarata adalah anak-anak. Satu lagi kartun yang mendapat peringatan dari KPI, yakni Detektif Conan. Kartun karya Aoyama Gosho ini dianggap berbahaya karena di setiap episodenya selalu menampilkan berbagai pembunuhan sadis, pencurian, dan berbagai tindak kriminal lainnya lengkap dengan trik yang dipakai untuk melakukan semua tindak kejahatan tersebut. Dikhawatirkan trik-trik ini akan digunakan di dunia nyata oleh penontonnya sehingga akan meningkatkan jumlah kriminalitas.
Selain adegan-adegan tersebut, masih ada berbagai dampak negatif yang dibawa oleh kartun-kartun lainnya. Seperti misalnya Crayon Shinchan. Kartun yang berkisah tentang seorang bocah TK ini menyimpan banyak nilai negatif di balik berbagai
humornya. Shinchan sering kali meledek Ibu atau Ayahnya dan orang-orang disekitarnya dengan kata-kata yang tidak sopan dan tidak seharusnya dilontarkan seorang murid TK. Belum lagi fakta bahwa diumurnya yang masih kecil itu Shinchan sering bersikap seperti orang dewasa, membayangkan pernikahan, merayu wanita-wanita yang jauh lebih tua darinya, serta melakukan porno aksi dalam banyak adegannya.
Ada juga kartun-kartun yang membuat kita berfantasi tingkat tinggi karena adegan-adegan di dalamnya. Seperti dalam kartun Doraemon. Doraemon seringkali membantu Nobita menyelesaikan berbagai masalahnya dengan alat-alat canggih dari kantong ajaib. Hal ini bisa membawa dampak negatif bagi anak-anak yang menyaksikannya. Mereka akan berangan-angan seandainya memiliki Doraemon atau alat-alatnya untuk menangani masalah mereka alih-alih memikirkan solusi yang tepat dan riil untuk masalahnya itu. Hal serupa juga ditawarkan kartun-kartun lama seperti Sailormoon, Cardcaptor Sakura, Power Puff Girls, dan kartun-kartun superhero lainnya yang akan membuat penontonnya berimajinasi seandainya memiliki kekuatan super itu.
Seperti halnya koin yang memiliki dua sisi yang berlawanan, begitu pun dengan kartun. Kartun tidak hanya memiliki sisi negatif. Mereka juga menawarkan sisi positif yang bisa digunakan sebagai pelajaran bagi kita para penontonnya. Selain memberikan sajian yang kocak, menghibur, dan bisa merilekskan pikiran, kartun seringkali memberikan kita pelajaran di setiap episodenya. Sebut saja Detektif Conan. Memang benar dalam kartun ini terdapat berbagai trik tindak kejahatan yang diperlihatkan secara jelas dan memungkinkannya untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Tapi, seperti halnya dalam setiap kasus yang terjadi, kartun ini pun memberikan solusi untuk sisi negatif yang dibawanya. Dalam akhir cerita setiap episodenya selalu ada penjelasan untuk semua tindak kriminal yang terjadi. Hal ini tentu bisa menjadi rujukan bagi, misal, pihak kepolisian atau masyarakat awam dalam menangani tindak kriminal semacam itu di dunia nyata. Selain itu, Conan sering kali memasukkan berbagai pengetahuan umum dalam ceritanya sehingga bisa menjadi pelajaran bagi kita. Seperti yang ada di komik volume 21 yang memberitahukan kita tentang hukum Paskal atau dalam filmnya yang berjudul Countdown to Heaven yang memasukkan rumus Fisika ke dalamnya untuk kita pelajari. Yang tidak boleh ketinggalan adalah ceritanya mengajak kita untuk selalu berpikir, mengasah otak, dan memperhatikan setiap detail yang ada di sekitar kita.
Kita juga bisa belajar tentang bahasa maupun kebudayaan dari sebuah kartun. Kartun yang ada di Indonesia kebanyakan berasal dari Jepang dan Amerika, walaupun ada juga dari Negara lain seperti Malaysia dan India. Dalam banyak episodenya kartun-kartun tersebut memasukkan unsur kebudayaan maupun bahasa negara mereka sehingga secara tidak langsung kita sebagai penikmatnya telah belajar budaya dan bahasa mereka itu. Hal ini tentu berguna untuk menambah wawasan kita tentang dunia luar. Seperti yang terkemas dalam Dora the Explorer dan Go Diego Go yang mengajak kita untuk belajar bahasa spanyol, Ipin Upin dengan dialek Melayu-nya, dan kartun-kartun asal Jepang yang mengenalkan kita pada kekayaan budaya mereka.
Yang tak kalah pentingnya adalah dari kartun kita bisa belajar tentang nilai-nilai kehidupan. Banyak kartun yang mengajarkan pada kita akan pentingnya nilai persahabatan, kesetiaan, pantang menyerah, saling menolong, dan tidak pernah takut melawan kejahatan. Seperti yang ditawarkan kartun Shaun the Sheep. Kartun ini mengajarkan pada kita untuk saling bekerjasama. Jika tokoh anjing dan kambing-kambing dalam cerita ini saja bisa saling membantu dan kerja sama, tentunya kita manusia juga (harusnya) bisa melakukan hal serupa kepada sesama.
       Dengan begini, tak salah kiranya jika kartun disamakan dengan uang koin. Keduanya sama-sama memiliki dua sisi yang berlawanan tapi tak terpisahkan. Negatif dan positif. Tidak selamanya yang negatif terlihat buruk. Bergantung kepada individu yang bersangkutan. Apakah akan mengambil sisi negatif itu sebagai hal negatif ataukah akan meleburnya sehingga bisa memberi manfaat. Hal yang sama berlaku pula untuk sisi positif yang ada di dalamnya.[]

 

Mahasiswa Universitas Jember Copyright © 2011 - |- Template created by O Pregador - |- Powered by Blogger Templates